Jumat, 30 Mei 2008

Mahasiswa di simpang jalan

Mahasiswa dan Tarikan Politik
Beberapa hari lalu, mahasiswa UNAS (Universitas Nasional) Jakarta, bentrok dengan aparat keamanan Metro Jakarta Selatan. Peristiwa ini diawali oleh mahasiswa UNAS yang melakukan unjuk rasa sebagai buntut dari kebijakan pemerintah SBY - JK yang kembali menaikan harga BBM sebesar 28.7 %.
Mahasiswa UNAS mengawali unjuk rasa mereka di depan kampus UNAS tepat pada malam pemerintah akan melakukan pengumuman kenaikan BBM. Unjuk rasa yang awalnya tertib dan masih berada pada jalur penyampaian orasi sedikit demi sedikit mengalami perubahan suasana. Keadaan semakin terlihat “panas” ketika mahasiswa mulai melakukan pembakaran ban bekas ditengah jalan depan kampus UNAS yang berakibat pada kemacetan cukup parah karena pemblokiran dan pembakaran ban bekas itu dilakukan pada jam padat kendaraan.
Keadaan ini memaksa aparat kepolisisan “turun tangan” untuk melakukan penertiban terhadap aksi mahasiswa, karena dianggap telah mengganggu ketertiban umum. Alih-alih mengamankan suasana, keadaan pun berubah menjadi aksi saling serang antara polisi dan mahasiswa. Puncak dari aksi saling serang ini adalah peristiwa “penyerbuan” polisi kedalam kampus UNAS. Polisi dengan ganasnya melakukan penangkapan terhadap para mahasiswa yang dianggap sebagai provokator kerusuhan disertai dengan berbagai pemukulan mahasiswa.

Analisis
Sebelumnya mahasiswa diberbagai daerah telah terlebih dahulu melakukan aksi serupa untuk menyuarakan aspirasi yang sama untuk menolak BBM, bahkan dalam skala masa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang terlibat unjuk rasa di depan kampus UNAS. Namun, berbeda dengan unjuk rasa yang sebelumnya, peristiwa unjuk rasa mahasiswa UNAS ini mendapatkan porsi pemberitaan dan penanganan yang jauh lebih intensif, ini dapat kita lihat dari berbagai tokoh dan kalangan yang melakukan “pembelaan” terhadap mahasiswa UNAS.

Mahasiswa sebagai komoditas politik
Ini dapat kita fahami karena kondisi politik Indonesia sekarang sangat panas karena perseteruan elit politik menyongsong pemilu 2009 dan sangat lumrah untuk kita saksikan bersama pada media massa setiap hari. Imbas dari keadaan ini mahasiswa kembali mendapatkan “porsi penting” pada dunia politik Indonesia. Ini kita fahami karena mahasiswa pada saat ini mempunyai aspirasi yang sama dalam politik Indonesia yaitu menentang kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, dan yang kedua yaitu eksistensi mahasiswa di masyarakat dalam moment kebangkitan nasional.
Tentu keadaan ini dapat digunakan oleh para elit politik untuk dijadikan semacama “underground politic” mereka untuk menggoyah pemerintah melalui cara yang tidak terlalu menampilkan konflik horizontal langsung elit politik dengan pemerintah.

Mahasiswa sebagai penerus bangsa
Keadaan di atas seharusnya tidak perlu terjadi apabila mahasiswa benar-benar memahami posisi mereka sebagai kaum intelek yang dapat menggunakan cara-cara diplomatis untuk melakukan berbagai fenetrasi aspirasi mereka. Karena dengan keadaan tarikan politik Indonesia yang sangat panas sekarang ini mahasiswa benar-benar merupakan sarana empuk fenetrasi politik elit haus kekuasaan.
Sebenarnya sekarang ini mahasiswa telah menjadi komoditas politik elit 2009 dan dijadikan tunggangan gratis untuk mencapai kekuasaan 2009.